Hilang (CERPEN)

 


Sore itu, bentang langit kelabu, awan saling mendekap erat hingga rintik hujan jatuh menghantam rumput hijau yang membalut tanah. Semilir angin pun ikut memeriahkan kala itu, menjatuhkan para daun dari rumah mereka. 

Dan halte tua ditepi jalan, menjadi tempatku menyinggahkan diri. Obsidian legamku, berkeliaran guna saksikan ciptaan Tuhan saling bertegur sapa, melalui bahasa tak kasat mata. Pun surai legamku ikut menari, tatkala angin tak sengaja melewatinya. 

Detik berikutnya, memori dalam otakku berputar begitu laju, kemudian melemparkanku pada masa dimana halte ini menjadi akhir dari perjalanan Ibuku. Saat itu, aku begitu kecewa. Jiwaku melayang, sisakan raga ringkih. 

Seluruh kata belasungkawa dibalut duka cita, aku dapatkan dari belah bibir tiap insan yang singgahi rumah. Ikhlas, katanya dengan segurat senyum. Namun, bagaimana? Bagaimana aku mampu ikhlas? Mengapa? Mengapa takdir begitu kejam mengambil seseorang yang aku sayangi sepenuh hati.

Sampai, Bapak datang. Beliau membawaku dalam dekapnya, "Kamu tahu? Takdir tak ciptakan kehilangan, melainkan jembatan untuk kehidupan selanjutnya— yaitu surga dan neraka," Bapak membubuhkan kecupan, air matanya menetes mengenai puncak kepalaku.

"Hidup ibarat sebatang lilin. Ia akan senantiasa bersinar hingga pada akhirnya redup ketika tugasnya sudah selesai," hela napas jadi akhir ucapannya.

Aku lepaskan dekap hangat bapak. "Lantas kenapa harus pergi selamanya?" Tanyaku, dengan air mata menggenang.

"Sebab Tuhan ciptakan manusia untuk kembali padanya. Dunia ini hanya dunia fana, nak. Kita tak bisa selamanya bersinggah disini." 

Saat itu, aku tak paham betul ucapan bapak. Hingga, kesadaran menamparku. Dunia ini tak selamanya milik kita, suatu hari kita pun harus kembali pada sang pencipta. Sebagaimana pun kita menolak, kehilangan akan selalu mendampingi. 

"Kinara, kamu masih disini? Bapak cari sedari tadi," gumam bapak menyadarkanku dari lamunan prihal masa lalu. "Kenapa belum pulang?"

Aku guratkan senyum pada bapak, "Aku sedang kangen Ibu, makanya ke sini."

Dapat aku saksikan air wajah bapak penuh kekhawatiran, ketakutan Beliau tampak di kedua iris sendu itu. Jika aku mampu menyelam, aku akan selami. Menghapus guratan tinta menyakitkan prihal kehilangan dari diri bapak. 

"Bapak tenang saja, aku mengerti prihal kata bertajuk hilang. Dunia fana bukan tempat untuk manusia bersinggah selamanya," ujarku, dengan memandangi lautan langit yang kini telah kembali cerah. 

Bapak kembali mendekap tubuhku seperti masa itu, mengusap surai legamku. "Terimakasih sudah mau berjuang hingga saat ini. Jangan dulu hilang, sebab tugasmu belum selesai disini."

"Bapak sayang kamu," lanjut bapak, menghujam puncak kepalaku dengan kecupan.

Aku tertawa kecil, membalas dekap hangat bapak. "Aku juga sayang bapak."

Komentar